Congratulations on the success of PERSEBAYA CHAMPION LIGA 2 Year 2017. We are proud of you. Keep giving the best for Surabaya and Indonesia. Happy birthday (reduced life of the success as a real human being), the success of a new life, Sincere fasting and sacrifice perform multiply Best of Nobles "1" dignified iffah absoluted GOD and celebrate the New Year. Enjoy the delights "BACK'PO" 's KAMI. Forgive Big / Extended Family's Bodies and Soul. Selamat ulang tahun (berkurangnya umur kesuksesan menjadi manusia sejati), sukses menempuh hidup baru, ikhlas menunaikan ibadah puasa dan memperbanyak berkurban dalam KEYAKINAN MURNI MULIA AULIA BERMARTABAT IFFAH SEJATI ZAT 1 MAHA (Z1M) serta merayakan Tahun Baru. Menikmati kelezatan "BACK'PO" KAMI. Mohon Maaf Lahir dan Batin. It is the leading service company's business around the family and the international organizations which are open, please do not send spam, obscenities, pornography, satire, which dropped a goal bad, and politicization. Ini merupakan layanan unggulan seputar bisnis perusahaan keluarga dan organisasi international yang bersifat terbuka, mohon tidak mengirimkan spam, kata - kata kotor, pornografi, sindiran yang menjatuhkan, tujuan buruk, dan upaya politisasi. All the times. Sepanjang masa. Thanks You Guest Bye Bye Nice to meet you. Good Luck (by : Commisaries)

0000123 / NRiPSMGiC / POPIDEF / PA / P3IDE / III / 2017

PRINSIP : "Setiap PENULIS / JURNALIS / WARTAWAN / PENCATAT / SEKRETARIS harus NETRAL"

SEJARAH JURNALISTIK DI DUNIA
(08.00 - 11.00 Skala Dimensi Waktu)

Mr. ADAM A.S pernah MELUKIS CORAT - CORET pertama kali !?!
Pekerjaan Rumah

Sejarah Jurnalisme mempunyai catatan sangat panjang. Kegiatan jurnalisme pertama kali terjadi di masa kekaisaran Romawi kuno yaitu kegiatan pengiriman dan pemasangan informasi yang berkaitan dengan berita lokal maupun isu negara ke tempat umum. Seiring perkembangan teknologi, berbagai metode telah digunakan untuk mempublikasikan informasi dan berita.
Pada mulanya, jurnalisme itu hanya untuk kalangan terbatas, terutama para pejabat pemerintah. Barulah pada sekitar abad 17-18 penerbitan surat kabar dan majalah untuk publik muncul pertama kalinya di wilayah Eropa Barat, Inggris dan Amerika Serikat. Akan tetapi surat kabar pada masa ini sering mendapat perlawanan dan sensor ketat dari penguasa setempat. Iklim jurnalisme yang lebih baik untuk penerbitan surat kabar generasi pertama ini baru muncul pada pertengahan abad 18, ketika beberapa negara, seperti Swedia dan AS, mengesahkan undang-undang kebebasan pers.
Revolusi Industri Jurnalisme
Memasuki masa revolusi industri, surat kabar mulai menunjukkan eksistensinya yang luar biasa, terlebih dengan munculnya mesin cetak tenaga uap yang mampu mencetak surat kabar dalam jumlah banyak. Selain itu budaya membaca di masyarakat juga semakin meluas.
Pada pertengahan 1800 an seiring dengan kemajuan bisnis berita, mulai berkembang organisasi kantor berita yang berfungsi sebagai pengumpul dan pencari berita untuk didistribusikan ke penerbit surat kabar maupun majalah. Keberadaan kantor berita sangat menguntungkan pemilik surat kabar karena dapat menghemat biaya, dan dalam waktu singkat kantor berita bisa meraih kepopuleran. Kantor berita lama yang masih beroperasi hingga saat ini antara lain: Reuters (Inggris), Associated Press (AS) dan Agence-France Presse (Prancis).
Selain itu, pada tahun 1800-an juga muncul istilah yellow journalisme (jurnalisme kuning) akibat dari “pertempuran headline” dua surat kabar besar di New York milik Joseph Pulitzer dengan William Randolph Hearst. Yellow journalisme adalah pemberitaan yang bombastis, sensasional, dan menggunakan judul utama yang dapat menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu: meningkatkan oplah penjualan. Jurnalisme kuning (Yellow journalisme) tidak bertahan lama, seiring dengan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.
Jurnalisme Profesional
Koran generasi pertama di AS awalnya hanya partisan, agar mudah menyerang politisi dan penguasa, dengan memuat pemberitaan yang tidak objektif dan berimbang. Namun akhirnya wartawan sadar bahwa berita yang mereka tulis untuk publik harus memiliki pertanggungjawaban sosial.
Kesadaran akan jurnalisme profesional mendorong membentuk organisasi profesi kewartawanan. Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara lain pada masa berikutnya. Pendidikan dan kursus jurnalisme mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan konsep-konsep pemberitaan yang obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme profesional.
Awal  mulanya muncul jurnalistik dapat diketahui dari berbagai literatur tentang sejarah jurnalistik senantiasa merujuk pada “Acta Diurna” pada zaman Romawi Kuno masa pemerintahan kaisar Julius Caesar (100-44 SM).
“Acta Diurna”, yakni papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau papan informasi sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik pertama; pers, media massa, atau surat kabar harian pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”.
Sebenarnya, Caesar hanya meneruskan dan mengembangkan tradisi yang muncul pada permulaan berdirinya kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala kejadian penting dicatat pada “Annals”, yakni papan tulis yang digantungkan di serambi rumah. Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya.
Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum.
Berita di “Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para “Diurnarii”, yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan “Acta Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para hartawan.
Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata “Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul kata “Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).
Dalam sejarah Islam, seperti dikutip Kustadi Suhandang (2004), cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan.
Untuk mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh penumpang kapal.
Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia.
MASA PERKEMBANGANNYA
Kegiatan penyebaran informasi melalui tulis-menulis makin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama “Phapyrus”.
Pada abad 8 M., tepatnya tahun 911 M, di Cina muncul surat kabar cetak pertama dengan nama “King Pau” atau Tching-pao, artinya “Kabar dari Istana”. Tahun 1351 M, Kaisar Quang Soo mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali.
Penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin cetak ditemukan oleh Johan Guttenberg pada 1450. Koran cetakan yang berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama kalinya pada 1457 di Nurenberg, Jerman. Salah satu peristiwa besar yang pertama kali diberitakan secara luas di suratkabar adalah pengumuman hasil ekspedisi Christoper Columbus ke Benua Amerika pada 1493.
Pelopor surat kabar sebagai media berita pertama yang bernama “Gazetta” lahir di Venesia, Italia, tahun 1536 M. Saat itu Republik Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto menulisnya dan menjualnya dengan murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak.
Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari adalah Oxford Gazzete di Inggris tahun 1665 M. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan ketika Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia telah menggunakan istilah “Newspaper”.
Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah “Journalism”. Saat itu terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris.
Pada Abad ke-17, di Inggris kaum bangsawan umumnya memiliki penulis-penulis yang membuat berita untuk kepentingan sang bangsawan. Para penulis itu membutuhkan suplai berita. Organisasi pemasok berita (sindikat wartawan atau penulis) bermunculan bersama maraknya jumlah koran yang diterbitkan. Pada saat yang sama koran-koran eksperimental, yang bukan berasal dari kaum bangsawan, mulai pula diterbitkan pada Abad ke-17 itu, terutama di Prancis.
Pada abad ke-17 pula, John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence).
Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 – 1911).
Pada Abad ke-18, jurnalisme lebih merupakan bisnis dan alat politik ketimbang sebuah profesi. Komentar-komentar tentang politik, misalnya, sudah bermunculan pada masa ini. Demikian pula ketrampilan desain/perwajahan mulai berkembang dengan kian majunya teknik percetakan.
Pada abad ini juga perkembangan jurnalisme mulai diwarnai perjuangan panjang kebebasan pers antara wartawan dan penguasa. Pers Amerika dan Eropa berhasil menyingkirkan batu-batu sandungan sensorsip pada akhir Abad ke-18 dan memasuki era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang.
Perceraian antara jurnalisme dan politik terjadi pada sekitar 1825-an, sehingga wajah jurnalisme sendiri menjadi lebih jelas: independen dan berwibawa. Sejumlah jurnalis yang muncul pada abad itu bahkan lebih berpengaruh ketimbang tokoh-tokoh politik atau pemerintahan. Jadilah jurnalisme sebagai bentuk profesi yang mandiri dan cabang bisnis baru.
Pada pertengahan 1800-an mulai berkembang organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan tulisan untuk didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar dan majalah. Kantor berita pelopor yang masih beroperasi hingga kini antara lain Associated Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-France Presse (Prancis).
Tahun 1800-an juga ditandai dengan munculnya istilah Yellow Journalism (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk “pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst.
Ciri khas “jurnalisme kuning” adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu: meningkatkan penjualan! Namun, jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring dengan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.
Sebagai catatan, surat kabar generasi pertama di AS awalnya memang partisan, serta dengan mudah menyerang politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang objektif dan berimbang. Namun, para wartawannya kemudian memiliki kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah memiliki pertanggungjawaban sosial.
Kesadaran akan jurnalisme yang profesional mendorong para wartawan untuk membentuk organisasi profesi mereka sendiri. Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme pun mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan yang tidak bias dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme profesional.
Teknologi Informasi
Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan teknologi publikasi dan informasi. Pada masa antara tahun 1880-1900, terdapat berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik. Yang paling menonjol adalah mulai digunakannya mesin cetak cepat, sehingga deadline penulisan berita bisa ditunda hingga malam hari dan mulai munculnya foto di surat kabar.
Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian di koran edisi Minggu. Pada 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam pita, walaupun belum banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat itu. Pada 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena berita yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya sekilas. Baru pada 1950-an perhatian masyarakat sedikit teralihkan dengan munculnya televisi.
Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era 1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses produksi berita. Selain deadline bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak, copy cetak yang bisa dilakukan secara massif, perwajahan, hingga iklan, dan marketing mengalami perubahan sangat besar dengan penggunaan komputer di industri media massa.
Memasuki era 1990-an, penggunaan teknologi komputer tidak terbatas di ruang redaksi saja. Semakin canggihnya teknologi komputer notebook yang sudah dilengkapi modem dan teknologi wireless, serta akses pengiriman berita teks, foto, dan video melalui internet atau via satelit, telah memudahkan wartawan yang meliput di medan paling sulit sekalipun. Selain itu, pada era ini juga muncul media jurnalistik multimedia. Perusahaan-perusahaan media raksasa sudah merambah berbagai segmen pasar dan pembaca berita. Tidak hanya bisnis media cetak, radio, dan televisi yang mereka jalankan, tapi juga dunia internet, dengan space iklan yang tak kalah luasnya.
Setiap pengusaha media dan kantor berita juga dituntut untuk juga memiliki media internet ini agar tidak kalah bersaing dan demi menyebarluaskan beritanya ke berbagai kalangan. Setiap media cetak atau elektronik ternama pasti memiliki situs berita di internet, yang updating datanya bisa dalam hitungan menit. Ada juga yang masih menyajikan edisi internetnya sama persis dengan edisi cetak.
Sedangkan pada tahun 2000-an muncul situs-situs pribadi yang juga memuat laporan jurnalistik pemiliknya. Istilah untuk situs pribadi ini adalah weblog dan sering disingkat menjadi blog saja.Memang tidak semua blog berisikan laporan jurnalistik. Tapi banyak yang memang berisi laporan jurnalistik bermutu. Senior Editor Online Journalism Review, J.D Lasica pernah menulis bahwa blog merupakan salah satu bentuk jurnalisme dan bisa dijadikan sumber untuk berita.

SEJARAH JURNALISTIK DI INDONESIA
(13.00 - 16.00 Skala Dimensi Waktu)

Seiring era Reformasi yang dikumandangkan dari Sabang sampai Merauke oleh para Reformis, menggantikan era totaliterisme Soeharto, maka dunia jurnalisme kita mendapatkan angin segar dalam menyampaikan informasi kepada khalayak umum tanpa takut adanya ancaman pembredelan.
Tak kurang dari 32 tahun dunia jurnalisme kita mandul dan harus berfungsi sebagai corong pemerintahan Orde Baru yang jauh dari idealisme pers sebagai kontrol sosial. Bahkan sejak akhir masa kekuasaan Soekarno (orde lama), pun dunia jurnalisme kita telah diarahkan menjadi corong pemerintahan. Di era orde lama, institusionalisme pers yang berkembang adalah bagaimana sebuah lembaga penerbit pers dapat melibatkan diri dalam pertentangan antar partai. Masing-masing media cetak berfungsi sebagai corong perjuangan partai-partai peserta pemilu 1955. Beberapa partai seperti PNI mempunyai Suluh Indonesia, Masyumi mempunyai Abadi, NU mempunyai Duta Masyarakat, PSI mempunyai Pedoman dan PKI mempunyai Harian Rakyat. Jadi fungsi media di era Orde Lama tak lain sebagai media perjuangan partainya masing-masing.
Sejak pencabutan pengaturan mengenai SIUPP dan kebebasan penyajian berita serta informasi di berbagai bentuk pada tahun 1999 disahkan UU Pers No 40/1999. Mulai saat itu dunia jurnalisme kita lepas dari pemasungan yang selama akhir masa Orde lama dan orde baru menjerat demokratisasi pers kita. Tak lama kemudian dalam merayakan kemenangan sistem demokrasi muncul berbagai macam ribuan media massa baik cetak maupun elektronik yang tak terbendung lagi memberikan warna kebebasan dalam dunia jurnalisme kita.
Namun gagasan otonomi pers selama ini disalahtafsirkan menjadi kebebasan pers yang tanpa batas etika. Bahkan hemat saya, kebebasan pers di era Reformasi telah jauh meninggalkan kode etik jurnalistik dan lebih liberal dari pers Amerika yang menganut paham leberalisme pers sekalipun. Hal itu terlihat dari beberapa media pers kita yang menyebarkan berita mengarah ke dunia pornografi, kriminal, kekerasan serta mengabaikan nilai-nilai perjuangan kemanusiaan. Mengingat sesuai dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang pers secara tegas sebagai kedaulatan rakyat, dan berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
BAGAIMANA dengan di Indonesia? Tokoh pers nasional, Soebagijo Ilham Notodidjojo dalam bukunya “PWI di Arena Masa” (1998) menulis, Tirtohadisoerjo atau Raden Djokomono (1875-1918), pendiri mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang jadi harian, sebagai pemrakarsa pers nasional. Artinya, dialah yang pertama kali mendirikan penerbitan yang dimodali modal nasional dan pemimpinnya orang Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Haryadi Suadi menyebutkan, salah satu fasilitas yang pertama kali direbut pada masa awal kemerdekaan adalah fasilitas percetakan milik perusahaan koran Jepang seperti Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung), dan Sinar Baroe (Semarang) (“PR”, 23 Agustus 2004).
Menurut Haryadi, kondisi pers Indonesia semakin menguat pada akhir 1945 dengan terbitnya beberapa koran yang mempropagandakan kemerdekaan Indonesia seperti, Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), dan The Voice of Free Indonesia.
Seperti juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan. Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an. Tercatat beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.
Jurnalisme kuning pun sempat mewarnai dunia pers Indonesia, terutama setelah Soeharto lengser dari kursi presiden. Judul dan berita yang bombastis mewarnai halaman-halaman muka koran-koran dan majalah-majalah baru. Namun tampaknya, jurnalisme kuning di Indonesia belum sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini masih ada koran-koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional semacam itu.

TEOLOGI perspektif dunia JURNALISTIK, JURNALIS, WARTAWAN dan WAJAH INFO
(19.00 - 22.00 Skala Dimensi Waktu)

Jurnalistik Islami adalah Jurnalisme dakwah, maka setiap jurnalis Muslim, yakni wartawan dan penulis yang beragam Islam berkewajiban menjadikan Islam sebagai ideologi dalam profesinya, baik yang bekerja pada media massa umum maupun media massa Islam (Muis, 2001; Amir,1999).
Suf Kasman (2004) memberi definisi yang lebih lengkap untuk Jurnalisme Dakwah, yaitu proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam dengan mematuhi kaidah-kaidah jurnalistik dan norma-norma yang bersumber dari Quran dan Hadits. Pendapat ini sejalan dengan Malik (1984) yang mendefinisikan jurnalisme
Oleh Emha Ainun Nadjib (dalam Kasman, 2004: 20). Menurutnya, jurnalistik Islami adalah teknologi dan sosialisasi informasi dalam kegitan penerbitan tulisan yang mengabdikan diri kepada nilai-nilai agama Islam.
Pada dasarnya setiap jurnalis Muslim hendaknya memiliki karakter, sebagaimana yang dimiliki oleh Nabi Muhammad yaitu:
Satu, shiddiq. Al-shidq mengacu kepada pengertian jujur dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Dalam konteks jurnalistik, shiddiq adalah menginformasikan sesuatu yang benar dan membela serta menegakkan kebenaran itu.     Standar kebenarannya tentu saja kesesuaian dengan ajaran Islam (Quran dan As-Sunnah).
Dua, amanah Artinya terpercaya, dapat dipercaya, karenanya tidak boleh berdusta, merekayasa, memanipulasi atau mendistorsi fakta.
Tiga, tabligh. Artinya menyampaikan, yakni menginformasikan kebenaran, bukan malah memutarbalikkan kebenaran.
Empat, fathonah. Artinya cerdas dan berwawasan luas. Jurnalis muslim dituntut mampu menganalisis dan membaca situasi,   termasuk membaca apa yang diperlukan umat dengan meneladani kecerdasan Nabi Muhammad (prophetic intelligence). (Sumber: Romli (2003: 38-39))
Dalam skala yang lebih luas, jurnalis Muslim bukan saja berarti para wartawan yang beragama Islam dan berkomitmen dengan ajaran agamanya, melainkan juga cendekiawan muslim, ulama, mubalig yang cakap bekerja di media massa dan memiliki setidaknya 5 peranan (Romli, 2003: 39-41):
Pertama, sebagai pendidik (muaddib), yaitu melaksanakan fungsi edukasi yang Islami. Ia harus lebih menguasai ajaran agama Islam dari rata-rata khalayak pembaca. Lewat media massa, ia berperan mendidik umat Islam agar melaksanakan perintah-Nya dan menajuhi larangan-Nya. Ia memikul tugas untuk mencegah umat Islam melenceng dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh buruk media massa nonIslami yang anti-Islam.
Kedua, sebagai pelurus informasi (musaddid). Dalam hal ini, setidaknya ada 3 hal yang harus diluruskan oleh para wartawan Muslim. Satu, informasi tentang ajaran dan umat Islam. Dua, informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam. Tiga, terkait jurnalis Muslim hendaknya mampu menggali (dengan investigative reporting) tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia. Peran musaddid amat relevan dan penting mengingat informasi tentang Islam dan umatnya yang datang dari pers barat biasanya bias (menyimpang dan berat sebelah), distorsif, manipulatif, penuh rekayasa untuk memojokkan Islam yang notabene tidak disukainya. Di sini, jurnalis Muslim dituntut berusaha mengikis fobi Islam (Islamophobia) dari propaganda pers barat yang anti-Islam.
Ketiga, sebagai pembaharu (mujaddid), yakni penyebar paham pembaharuan akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam). Wartawan Muslim hendaknya menjadi juru bicara para pembaharu, yang menyerukan umat Islam memegang teguh Quran dan As-Sunnah, memurnikan pemahaman tentang Islam dan pengamalannya (membersihkannya dari bid’ah, khurafat, tahayul, dan isme-isme yang tidak sesuai ajaran Islam), dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan umat.
Keempat, Sebagai pemersatu (muwahid), yaitu menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam. Oleh karena itu, kode etik jurnalistik yang berupa impartiality (tidak memihak pada golongan tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap informasi) harus ditegakkan. Wartawan muslim harus membuang jauh-jauh sikap sektarian (berpihak sebelah pada golongan tertentu).
Kelima, Sebagai pejuang (mujahid), yaitu pejuang-pejuang pembela Islam. Melalui media massa, wartawan muslim berusaha keras mendorong penegakan nilai-nilai Islam, menyemarakkan siar Islam, mempromosikan citra lslam sebagai rahmatan lilalamin.
Dalam ranah praktis, jurnalis juga dituntut memiliki kemampuan teknis dan etis sebagaimana dituntunkan dalam Quran. Hal ini menurut Romli (2003) dan Amir (1999) tercermin dalam berbagai bentuk akhlaqul karimah yakni:
Satu, menyampaikan informasi dengan benar, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta (QS. Al-Hajj: 30).
Dua, bersikap bijaksana, penuh nasihat yang baik, serta argumentasi yang jelas dan baik pula. Karakter, pola pikir, kadar pemahaman objek pembaca harus dipahami sehingga berita yang disusun akan mudah dibaca dan dicerna (QS. An-Nahl: 125).
Tiga, meneliti fakta/cek-ricek. Untuk mencapai ketepatan data dan fakta sebagai bahan baku berita yang akan ditulis, jurnalis Muslim hendaknya mengecek dan meneliti kebenaran fakta di lapangan dengan informasi awal yang ia peroleh agar tidak terjadi kidzb, ghibah, fitnah dan namimah (QS. Al-Hujarat: 6).
Empat, tidak mengolok-olok, mencaci-maki, atau melakukan tindakan penghinaan sehingga menumbuhkan kebencian (QS. Al-Hujarat: 11).
Lima, menghindari prasangka buruk/su’udzon. Dalam pengertian hukum, jurnalis hendaknya memegang teguh “asas praduga tak bersalah”.
Quran
Karena Islam menolak setiap klaim yang tidak berdasar pada dalil dan bukti, maka berpikir, tadabbur, meneliti dan mengkaji merupakan kewajiban seluruh umat manusia. Allah berfirman dalam Surat An-Naml ayat 64. Artinya demikian:“Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)? Katakanlah: “Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar”.
Dalam konteks Islam, teori dasar tentang jurnalisme Islam telah tertuang dalam Quran Surat Al-Hujurat ayat 6. Adapun artinya adalah: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Ada dua pesan moral yang terkandung dalam ayat di atas. Pertama, mewaspadai setiap orang fasik. Siapakah orang fasik itu? Dalam Quran Surat Al-Baqarah ayat 26-27 disebutkan, "...Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (Yaitu) orang-orang yang melanggar perintah Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang yang rugi”. Maksud ayat di atas sudah sangat jelas. Bahwa orang fasik yaitu orang yang suka melanggar perintah Tuhan dan kerjaannya merusak peradaban dunia.
Pesan moral kedua yaitu kewajiban setiap orang beriman untuk selalu melakukan pengamatan, penelitian dan kroscek terhadap setiap berita yang beredar di tengah masyarakat, khususnya yang dikeluarkan oleh orang-orang fasik. Dalam bingkai ini, kita dituntut untuk tidak mudah percaya kepada berita-berita yang disebarkan oleh orang fasik, baik melalui lisan mereka langsung maupun yang terekspos melalui berbagai media massa cetak dan elektronik yang mereka miliki.
Dalam Quran, Tuhan memberikan rekomendasi kepada setiap Muslim agar berhati-hati terhadap berita-berita yang disiarkan oleh kaum fasik. Lantas siapakah yang dimaksud sebagai orang-orang fasik tersebut? Dalam Quran Surat Al-Baqarah: 26-27 disebutkan secara gamblang bahwa orang fasik yaitu orang-orang yang melanggar perintah Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang yang rugi. Jadi, jelaslah, orang-orang fasik adalah orang-orang yang sesat, melanggar perintah Allah, dan membuat kerusakan di muka bumi.
Kebebasan dalam Quran terutama dalam memeluk agama. Seperti Firman Allah di Madinah dalam Surat Al-Baqarah ayat 256. Yang artinya adalah: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut (syaitan) dan beriman kepada Allah, maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Dan bila itu terjadi, penyesalanlah yang akan kita rasakan. Tidak hanya itu, kita juga akan dimintai pertanggungjawaban. “Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya” (QS Al-Isra’: 36).
Tak lain ayat Quran yang dimaksudkan di atas yakni Quran Surat Al-‘Alaq ayat 1-5. Dalam ayat tersebut Tuhan menginstruksikan kepada Muhammad (dan juga kepada umat manusia) untuk membaca, dan mencari jati diri manusia secara sungguh-sungguh.
Karenanya kebebasan yang diberikan harus dipertanggungjawabkan kepada Allah. Bebas satu sisi dan tanggung jawab sisi yang lain tidak mungkin dipisahkan. Pers bebas dalam menyiarkan sesuatu tetapi harus mempertanggungjawabkan apa yang disiarkannya, ia harus menjamin kebenaran yang disampaikan kepada khalayak.
“Setiap jiwa memang tidak pernah diberi tugas dan tanggung jawab di luar kemampuannya. Namun apa yang ia kerjakan akan dipertanggungjawabkan tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang diusahakannya/dikerjakannya”(Q.S. Al-Thur ayat 21).
Banyak ayat Quran yang melaknat pembohong. "Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta" (Q.S. An-Nahl: 105).
Adil juga berarti sama dan seimbang dalam memberi balasan. Dalam Surat An-An’am ayat 152 Allah berfirman: "Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat".
Ajaran Islam mengakomodasikan etika akurasi informasi tersebut melalui beberapa ayat seperti dalam surat Al-Hujarat ayat 6: "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu".
Wartawan sebagai seorang yang mempunyai akal sebagai pisau analisisnya akan selalu selektif dalam menerima informasi sebelum menyiarkan kepada orang lain. Dalam surat Al-Dzumar ayat 18 Allah berfirman: "Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal".
Dalam Quran, orang beriman diminta untuk melaksanakan suatu kewajiaban berupa pekerjaan mengajak orang lain untuk berbuat baik, menyuruh orang lain melaksanakan kebaikan, dan melarang orang untuk menjauhi kemungkaran, seperti dicantumkan dalam Surat Ali Imran ayat 103: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung".
Sebelum ada penemuan teknologi kertas pada era kekuasaan Kaisar Ho-Ti dari Dinasti Han oleh Ts’ai Lun pada tahun 105 Masehi; dinamika peradaban tulis-menulis umat manusia masih dilakukan dengan mengeksplorasi media batu, tulang-belulang, kulit hewan, pun dedaunan. Nenek moyang kita dulu juga memfungsikan daun lontar untuk berkarya. Zaman sudah berubah. Kini semua sudah berubah total.
Politik Media
Merujuk pada data yang ada, tingkat melek huruf Yahudi adalah 97 persen, Kristen 87 persen, Budha 85 persen, Sikh 53 persen, Hindu dan Muslim masing-masing 51 persen. Sementara tingkat pengangguran tertinggi diduduki oleh umat Hindu dan Sikh yang masing-masing sebanyak 20 persen, disusul umat Muslim 15 persen dan Kristen 10 persen, Yahudi 8 persen dan Budha 5 persen.
Seperti diketahui bersama, jumlah pemeluk agama-agama besar dunia sendiri menunjukkan, jumlah pemeluk agama Kristen sebanyak 2 miliar jiwa, disusul pemeluk Muslim yang kuantitasnya mencapai 1,3 miliar. Sementara jumlah pemeluk agama Hindu yakni 900 juta jiwa, atheis sebanyak 850 juta jiwa, dan penganut agama Budha adalah 360 juta orang. Disusul berturut-turut agama Sikh 23 juta orang, Yahudi hanya sebanyak 14 juta orang.
Sedangkan penganut agama (keyakinan) lainnya sebanyak 525 juta penduduk. Mencermati data tersebut menegaskan bahwa ada relasi yang sangat kuat antara tingkat melek huruf dengan kesejahteraan penduduk. Sebab data terbaru menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata per kapita per tahun orang-orang Yahudi di dunia adalah USD 16.100, disusul Kristen USD 8.230, Budha USD 6.740, Muslim USD 1.720, Sikh USD 702, serta Hindu USD 392.


MEDTECINDO # MICROSOFT # MICROCINDO
(22.00 - 08.00 Skala Dimensi Waktu)

Pendiri MICROSOFT pasti sudah kenal IQ 160 semua tahu beliau HEBAT. Sedangkan Pendiri MEDTECINDO dan MICROCINDO dengan mempekerjakan sukarelawan dengan rata-rata IQ 270 menyalahkan komputer dan mematikan komputer saja belum bisa, menyelesaikan buku - buku teorinya masih menggunakan tulisan kertas dan pensil kuno yang mudah dihapus hingga akhir masanya. Sungguh IRONIS ya.

Setiap berita TULISAN dan VISUAL seperti LELANG ya ?
ada yang diobral, digratiskan, dan menjadi lahan bisnis ?
1 Tema dihargai Rp 25 pernah masa tersebut
1 Tema dihargai Rp 25.000 pernah masa tersebut
1 Dokumen SKRIPSI, TESIS dan DESERTASI pernah tanpa harga pada masa tersebut